(Posted on 30 October 2007 by Sismanto)http://mkpd.wordpress.com/2007/10/30/demokratisasi-pendidikan-kajian-pada-jenjang-pendidikan-dasar/)
Pendahuluan
Banyak indikator telah menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita masih
sedemikian memprihatinkan. Rendahnya rerata NEM yang dapat dicapai oleh
siswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas memberi petunjuk
betapa rendahnya mutu pendidikan terhadap penguasaan bahan ajar yang
dapat diserap.
Kesenjangan yang bertingkat juga terjadi dan dirasakan oleh
masing-masing jenjang seperti halnya sering dilansir kalangan Perguruan
Tinggi yang merasa bahwa bekal kemampuan lulusan SMA masih dipandang
kurang memadai, selanjutnya di kalangan guru-guru SMA dirasakan betapa
rendahnya kemampuan lulusan SMP, demikian selanjutnya guru-guru SMP juga
mengeluh betapa lemahnya kemampuan para lulusan SD. Belum lagi adanya
88,4% lulusan SMA tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan 34,4%
lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke SMA (Balitbang Diknas, 2000). Hal
ini tentunya juga berlanjut yakni betapa masih banyaknya lulusan SD
yang tak dapat melanjutkan ke SMP.
“Keterpurukan pendidikan” kita juga akan tampak semakin jelas bila
kita mengacu pada komparasi internasional, dimana diketahui betapa
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebagaimana yang dilaporkan
oleh Human Development Index yakni Indonesia menduduki peringkat 102
dari 106 negara yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam.
Sementara itu hasil survai the Political Economic Risk Consultation
(PERC) melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12
negara yang disurvai, juga satu peringkat di bawah Vietnam.
Ketika mutu pendidikan belum dapat teratasi, tantangan lain juga
tengah muncul seperti angka putus sekolah sebagaimana yang telah
disinggung di atas yang relatif tinggi, daya tampung sekolah yang masih
sangat terbatas, angka pengangguran yang terus meningkat, lapangan kerja
yang masih terbatas, dan seterusnya. Kesan-kesan sementara yang dapat
ditangkap adalah bahwa pendidikan baru pantas dinikmati oleh sekelompok
orang yang berduit. Kesan semacam ini tampak mencolok ketika sebuah
sekolah dan perguruan tinggi favorit secara terbuka memberikan
“kesempatan kepada siapapun” untuk menjadi siswa/mahasiswa sejauh mampu
memberikan sejumlah dana yang ditawarkan. Sementara itu masyarakat awam
tidak banyak memiliki infomasi tentang hak dan kriterianya untuk menuju
kesana.
Legalitas Demokratisasi Pendidikan
Pengakuan terhadap hak asasi setiap individu anak bangsa untuk
menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan pengakuan secara
legal sebagai-mana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal
31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang
tua, masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung
jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai
tanggung jawab pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa
pemerintah mengusahakan dan menye-lenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang.
Terkait dengan pernyataan tersebut, sejak tanggal 8 Juli 2003
pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989
yang dianggap sudah tidak memadai lagi. Pembaharuan Sistem Pendidikan
Nasioanal dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi
pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tersebut secara tegas memperkuat tentang amanat Undang-Undang Dasar 1945
pasal 31 tentang pendidikan.
Secara retorik kedua ayat tersebut, telah cukup dapat dipergunakan
sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pendidikan yakni
diberinya peluang bahkan dalam batas tertentu diberikan kebebasan,
kepada keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan dan menyelenggarakan
pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat serta sesuai
dengan kondisi dan tuntuan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa
intervensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan
perlu ditiadakan, dikurangi atau setidaknya ditinjau kembali hal-hal
yang sudah tidak relevan.
Dalam kaitannya dengan masyarakat belajar (leraning society) perlu
diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk dapat memilih belajar sesuai
dengan kebutuhan dan minatnya sejauh tidak bertentangan dengan
ketentuan undang-undang dan falsafah negara. Demikian pula halnya dengan
pelaksanaan prinsip belajar seumur hidup.
Selama ini memang kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan telah menuju pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa,
sehingga secara konseptual pemerintah telah melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun secara realitas masih cukup
banyak diantara kelompok usia sekolah yang tidak/belum dapat menikmati
pendidikan karena alasan tertentu baik karena ketidakterjangkauan biaya,
tempat maupun kesempatan, sehingga hak mereka seolah “terampas” dengan
sendirinya
Demokratisasi dan Transformasi Sosial
Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan bahwa secara
substansial demokratisasi pendidikan diartikan sebagai hak setiap warga
negara atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk menikmati pendidikan.
Dalam hal ini kesempatan setiap warga negara dalam mengikuti pendidikan
juga tidak didasarkan atas diskriminasi tertentu. Hal ini sesuai dengan
bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu:
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan
menghargai keberagaman potensi individu yang bereda dalam kebersamaan.
Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu
uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu
bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi
Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut
tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu yakni pada level
pendidikan dasar sembilan tahun; kedua, adanya peluang untuk memilih
satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya.
Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur, tetapi juga
nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam hal
ini melalui upaya demokratisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong
munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus
mengorbankan martabat dan dirinya.
Dalam kenyataan ditemui adanya perbedaan perlakuan terhadap
masyarakat atas hak-hak tersebut dalam menikmati pendidikan. Menurut
kajian Mely G. Tan (1990) menunjukkan adanya dua kenyataan yakni yang
bersifat terbuka yang berdasarkan kemampuan akademik dan ikhtiar
pribadi, sedangkan yang lain bersifat tertutup yaitu yang berdasarkan
golongan atau keturunan. Dengan adanya demokratisasi pendidikan, maka
dengan sendirinya secara prinsip akan lebih memenangkan yang bersifat
terbuka, sehingga setiap warga negara dalam menikmati pendidikan
seharusnya tidak lagi didasarkan atas kabilah atau kelompok tertentu
saja yang memiliki uang dan/atau kekuasaan.
Perkembangan global yang salah satunya ditengarai oleh berkembangnya
berbagai industrialisasi, perkembangan ekonomi, dan informasi yang
sedemikian cepat memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya
kategori kelompok-kelompok lapisan masyarakat. Era industrialisasi yang
dibarengi dengan gencarnya informasi mendorong munculnya persepsi
knowledge is power (Drucker, 1989:237). Kebutuhan terhadap pendidikan
juga semakin bervariasi, baik yang bersifat formal maupun nonformal
dengan penyelenggara yang beraneka ragam. Pusat-pusat infomasi baik yang
melalui media elektronik maupun cetak dari dalam maupun luar negeri
dengan mudah dapat diperoleh. Dapatkah realitas ini menciptakan
ketidakberpihakan antara yang menguasai dan tidak menguasai knowledge.
Hal ini menjadi sangat penting ketika menyangkut akses, alokasi, serta
distribusi sumber-sumber informasi bagi masyarakat umum. Masalahnya
terletak pada bukan saja siapa yang mempunyai akses terhadap sumber
informasi, tetapi juga adakah mekanisme yang demokratis bagi para
anggota masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber informasi.
Kebutuhan akan hal ini sangat penting dan mendesak, karena seperti kata
Drucker (1989:239) kita juga mengetahui bahwa knowledge workers tidak
hanya menjadi leaders tetapi juga rulers yang mempengaruhi the forces of
change.
Mely G. Tan (1990:192-193) berpendapat bahwa terbentuknya lapisan
masyarakat yang “cukup tahu” berkat akses informasi yang dimilikinya
sebagaimana tersebut di atas, akan mengakibatkan tuntutan-tuntutan yang
menyangkut berbagai kebebasan yang berhubungan dengan kualitas hidup.
Termasuk juga tuntutan agar dihapusnya berbagai bentuk monopoli ekonomi
maupun keterbukaan dalam kehidupan berpolitik. Proses semacam ini
menuntut adanya relasi kemasyarakatan yang demokratis.
Secara esensial salah satu tanggung jawab dari pelaksanaan Sistem
Pendidikan Nasional dalam transformasi sosial yang tengah berlangsung
adalah menanamkan dan mengoperasikan ethos, nilai, dan moralitas bangsa
dalam menerima dan mengelola informasi yang silih berganti menjadi aset
dalam meningkatkan kualitas dirinya. Dalam design pembelajaran secara
eksplisit membuka peluang secara lebar terhadap penggunaan kemampuan
nalar dalam mengelola dan mengambil keputusan terhadap perubahan yang
dihadapi yang semuanya tersaji dalam bentuk integralistik dalam
pendidikan, sehingga menjadikan knowledge people have to learn to take
responsibility.
Program Wajib Belajar pada Pendidikan Dasar
Program wajib belajar secara menyeluruh pada level pendidikan dasar
di Indonesia merupakan keputusan politik yang tak dapat diabaikan.
Asumsi yang mendasari pentingnya keputusan politik tersebut, secara
legal formal tertuang dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 pasal 6 ayat
(1) yang menyatakan bahwa :”Setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Hal
ini penting sebagai suatu batas minimal bagi seseorang agar dapat hidup
secara efektif, efisien dan produktif di dalam masyarakat. Melalui wajib
belajar sembilan tahun berarti bahwa semua warga negara yang berumur
9-15 tahun akan dipersiapkan sedemikian rupa melalui pendidikan untuk
kelak menjadi warga negara yang dapat memainkan perannya secara terbuka
dan demokratis. Mengingat strata kelompok ini cukup besar dan cenderung
bertambah, maka kehadirannya menjadi penting untuk diperhitungkan.
Kelompok tersebut merupakan basis yang cukup memadai bagi proses
sosialisasi dan kualifikasi dalam pembentukan well informed rulers and
leader sebagai suatu ciri yang penting dalam masyarakat informasi masa
depan. Sehubungan dengan hal ini tentunya juga perlu dipikirkan model
program wajib belajar yang tepat sesuai dengan konsep pendidikan seumur
hidup versi Indonesia. Hal ini mengingat kompleksitas problema yang
dihadapi oleh siswa dalam konteks kehidupan dan budaya yang menyatu
dengan kehidupannya. Untuk menghadapi hal ini rentangan usia wajib
belajar sebaiknya tidak merupakan harga mati, sehingga memungkinkan
terjadinya model pembelajaran multy-entry-multy-exit khususnya pada
pelaksanaan wajib belajar. Dengan demikian seseorang dapat dengan
fleksibel mengatur kondisi dirinya dengan peluang yang tersedia pada
masa-masa dimana dia dapat belajar dan bekerja.
Mengacu pada model ini diharapkan dapat memberikan peluang kepada
siapa yang hendak memasuki dunia kerja terlebih dahulu atau sebaliknya,
karena ada jaminan bagi dirinya untuk memilih dan mengikuti pendidikan
tertentu sesuai dengan kurun waktu yang diaturnya sendiri. Artinya bahwa
dalam rangka demokratisasi pendidikan tidak lagi disekat dengan kurun
waktu tertentu oleh para pengambil kebijakan, tetapi juga dimanfaatkan
kapan saja mereka mau. Sebagai konsekuensi logis dari penerepan model
ini adalah hilangnya garis pemisah antara masyarakt terdidik, setengah
terdidik, maupun tidak terdidik.
Guru dan Kurikulum pada Pendidikan Dasar
Disadari bahwa secara konseptual pemahaman terhadap kurikulum
mendapatkan pemaknaan yang sangat beragam. Para pakar kurikulumpun
memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian
maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi.
Bahkan dari hal-hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak
sekalipun dapat dijadikan semacam argumen dalam memberikan pemaknaan
terhadap kurikulum.
Walau demikian, hal yang secara substansial perlu dicermati dan
dijaga adalah adanya upaya pencegahan, sehingga tidak terjadi proses
simplifikasi pemahaman terhadap makna kurikulum itu sendiri. Terjadinya
keterjerumusan kita pada miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum
antara lain sebgai akibat dari proses simplifikasi pemahaman terhadap
kurikulum, sehingga terjebak memaknai kurikulum dalam arti yang sangat
sempit. Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam
merancangbangun kurikulum pendidikan dasar untuk masa depan.
Sebagai konsekuensi dari miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum
adalah terjadinya “malpraktek” pendidikan yang pada gilirannya berdampak
pada rendahnya peran serta guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap
kurikulum, maka ada baiknya jika secara singkat dibahas mengenai konsep
kurikulum dalam arti luas, sehingga dapat dicermati kapan dan bagaimana
guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan kurikulum.
Dalam literatur memang banyak ditemukan definisi kurikulum yang
sangat bervariasi, bergantung pada konteks tertentu saat para pakar
mendefinisikannya. Namun demikian menurut Beane dkk (1986) dinyatakan
bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis
pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum
sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan dan; (4)
kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan,
dan perekayasaan kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa
kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan arah dan tujuan
pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk
selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu kurikulum dalam arti
produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati dalam bentuk
dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Kiranya perlu juga
diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya
pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya
dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan
materi dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya
dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa
perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran
yang akan terjadi di sekolah. Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa
ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodir semua fenomena
kehidupan yang sangat dinamis.
Kurikulum sebagai program secara esensial merupakan kurikulum yang
berbentuk program-program pengajaran secara riil. Dalam bentuk yang
ekstrim, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam
serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada
kurun waktu tertentu seperti halnya dalam kurun waktu satu semester.
Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat
mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh
sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu tertentu.
Keuntungan yang dapat diambil dari cara pandang ini yaitu (1) dengan
cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum
dengan lebih konkret, (2) dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran
dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berbeda.
Sementara itu kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak
dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa.
Sementara itu yang memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang
ingin dicapai oleh para siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai
pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap dan berbagai bentuk pemahaman
terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun
hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk
dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus
dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara
pandang seperti ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang
selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan
masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata yang secara “ritual”
harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial
dan kultural baik di sekolah maupun di masyarakat, (2) dapat menyusun
kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun
sequennya. Adapun kelemahannya adalah adanya kesulitan bagi para guru
maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari
oleh siswa dan cara mempelajarinya.
Untuk yang terakhir yang memberikan pemaknaan kurikulum sebagai
pengalaman belajar, pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat
jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir
ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa
sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi
belajar yang telah direncanakan. Sebagai konsekuensinya apa yang
direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang
diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam
proses pembelajaran. Artinya sebaik apapun kurikulumnya bila tidak
didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna
terhadap siswa, demikian pula sebaliknya.
Keuntungan dari pemaknaan tersebut setidaknya ada dua hal yaitu: (1)
pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya pada siswa dalam
proses pembelajaran, (2) guru akan lebih melibatkan semua pengalaman
siswa. Walau demikian ada pula kelemahannya yairu: (1) kurikulum terasa
lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang
sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga
tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai
konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit
(tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi
(hidden curriculum).
Keterlibatan Guru dan Kurikulum dalam Pembelajaran
Proses implementasi kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh
peran guru, artinya tanpa profesionalitas guru yang baik, kurikulum
hanya akan berwujud dokumen sekolah yang tidak terlalu bermakna bagi
proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru perlu terlibat
dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya keterlibatan guru dalam
pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah hanya akan menghasilkan
verbalisme. Para siswa akhirnya tidak tahu akan berbuat apa dengan
pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam ini jika kita
meminjam istilah Paulo Freire (1970:58) selanjutnya akan dapat
“menjerumuskan” guru pada model pendidikan “banking” melalui
ungkapannya: “Education thus becomes an act of depositing, in which the
student are the depositories and the teacher is the depositor. Instead
of communicating, thew teacher issues communiques and makes deposits
which students patiently receive, memorize, and repeat. This is the
banking concept of education, in which the scope of action allowed to
the students extends only as far as receiving, filling, and storing the
deposits.
Terkait dengan ungkapan tersebut Scheerens (1992:8) memasukkan
karakteristik pembelajaran pada masing-masing kelas sebagai salah satu
determinan bagi efektivitas suatu sekolah. Sekolah dikatakan efektif
bilamana proses pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan
dengan baik dan berimplikasi pada upaya guru dalam mengembangkan sistem
pembelajaran secara profesional berdasarkan kurikulum yang ditetapkan.
Secara profesional sebenarnya guru tidak dapat menghindarkan diri
untuk tidak melibatkan dalam proses pengembangan kurikulum, artinya
dalam kinerjanya guru tidak semata-mata mengejar target pencapaian
kurikulum dalam arti produk. Dengan demikian siswa tidak hanya
mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual tetapi juga kontekstual
dan kontemporer.
Hubungan fungsional antara guru dan kurikulum sebagaimana yang telah
disinggung di atas tampaknya masih kurang mendapatkan perhatian dalam
praktek pendidikan kita selama ini. Guru masih sering dianggap sebagai
pihak yang berada di luar proses pengembangan kurikulum, sehingga jarang
atau bahkan tidak pernah merasa bahwa mereka seharusnya memiliki peran
di dalamnya. Situasi semacam ini akan membuka peluang lahirnya “ritual”
proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler telah melakukan
“malpraktek” atau “wan edukasi”.
Agar siswa memiliki kemampuan dalam menganalisis persoalan-persoalan
secara individual maupun kelompok, maka guru perlu dilibatkan dalam
proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan guru dalam
mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan eksperiensialisasi
dalam pembelajaran yang dilakukan , maka para siswa hanya akan dijadikan
tempat “deposito” berbagai informasi yang tidak jelas manfaatnya bagi
tantangan masa depan yang dihadapinya.
Penutup
Demokratisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang sangat
didamba-kan oleh masyarakat. Melalui kebijakan tersebut diharapkan
peluang masyarakat untuk menikmati pendidikan menjadi semakin lebar
sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Jurang pemisah
antara kelompok terdidik dan belum terdidik menjadi semakin terhapus,
sehingga informasi pembangunan tidak lagi menjadi hambatan. Ungkapan
pendidikan untuk semua dan semuanya untuk pendidikan diharapkan bukan
sekedar wacana tetapi sudah harus merupakan komitmen pemerintah dan
masyarakat untuk mewujudkannya.
Dengan demikian isu tentang besarnya putus sekolah, elitisme,
ketidakterjangkauan dalam meraih pendidikan, dan seterusnya dapat
terhapus dengan sendirinya.
Daftar Pustaka
Balitbang, Depdiknas. 2000. Statistik Pendidikan. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Beane, J.A., Toepfer, C.F., Alessi, SJ. 1986. Curriculum Planning and Development. Boston: Allyn adn Bacon Inc.
Drucker, P.F. 1989. The New Realities: In Goverment and Politics/In
ecoomics and Business/In Society and World View. New York: Harper &
Row Publisher.
Freire, Paulo. et.al. 1970. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Scheerens, J. 1992. Effective Schoolling: Research Theory and Practice. London Willer House : Cassel
Tan, M.G. 1990. Pelapisan Sosial: Siapa yang Mendapat Apa, Kapan,
Bagaimana. dalam Pardede, S. (ed) 70 tahun Dr. I.B Simatupang; Saya
Orang yang Berhutang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Widarta, I. 2002. Naskah Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Yogyakarta: Pustaka Kendi.
__________ 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Disampaikan oleh Acmad Munib, SH., M.Si. dalam acara Konaspi Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar