FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
DISUSUN
Oleh:
Nama:ABBAS
Nim: 310 927 107
Fak/Jur: Tarbiah/PAI VII
Sem: VII
PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUN
A. PENGERTIAN, DAN DAN KONSEP PENDIDIKAN
ISLAM
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan
nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan
eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal
pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan
Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat
rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar
baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan.[1]
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak
pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini,
memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses
pendidikan, yaitu:
a.
Pengembangan
kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa
meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan.
Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali
setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.
Penguasaan
ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi).
Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang
tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan
kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi.
Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak
dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban
secara keseluruhan.
c.
Pembinaan
pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia
dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan
dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan
potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat
membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam
kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.[2]
B. KEDUDUKAN MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah
bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan
sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan
pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang
manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam
rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.[3]
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk
mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh
umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang
lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia
mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini
tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya
membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna
memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang
kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya,
khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki
pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya,
juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu
masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia
yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran
tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain
telah lebih dahulu mengetahui[4]
C. TUJUAN PENDIDIKAN
Menurut
Ibn Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam danbersifat universal. Diantara
tujuan pendidikan tersebut:
a. Tujuan peningkatan pemikiran
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan
pendidikanadalh memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan
melakukan aktivitas. Hal ini dapat di lakukan melalui proses menuntut ilmu
keterampilan, seseorang akan meningkatkankegiatan potensi akalnya. Disamping
itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk belajar, manusia
senantiasa mencobameneliti pengetahuan-pengetahuan oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan
fakta-fakta dan menginvestarisasikan keterampilan-keterampilan yang dikuasainya
untuk memproleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat
sepanjang masa sebagi hasil dari aktivitas akal manusia.[5]
Atas pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibn
Khaldun adalah meningkatkan kecerdasan manusia dan kemampuan berpikir. Dengan
kemampuan tersebut, manusa akan dapat menigkatkan pengetahuannya dengan cara
memproleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar. [6]
b. Tujuan peningkatan masyarakat
Dari segi penigkatan kemasyarakatan. Ibn Khaldun berpendapat
bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi manusia. Ilmu pengajaran sangat
diperlukan untuk menigkatkan taraf budaya suatu masyarakat, maka akan semakian
bermutu dan dinamis pula keterampilan dimasyarakat tersebut. Untuk itu
seyogianya senatiasa berusaha memproleh ilmu dan keterampilan sebnayak mungkin
sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalmmasyrakat
ynga dinamis dan berbudaya. jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan merupakan suata sarana
yang dapat membantu individu dan masyrakat menuju kemajuan dan kecemerlanagan.
Di samping bertujuan meningkatakan segi kemasyrakatan manusia, pendidikan juga
bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyrakat kearah yang lebih
baik.[7]
c. Tujuuan pendidikan dari segi
kerohanian adalah meningkatkan kerohanian manusia dengan
menjalankan
praktek ibadat, zikir, kholwat(menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak
ramaisedapt mungkin untuk tujuan ibadah sebagimana yang dilakuakan oleh para
sufi.[8]
D. PENDIDIK
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai
tentang perkembangan
psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat
membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui
kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi
menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.[9]
Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan
menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang
diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran
yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.[10]
Ibnu Kholdun menganjurkan agar para
guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya,
mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan
perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta
didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku
bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut
dimarahi guru atau takut dipukuli.
Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan
dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang
mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau
perintah-perintah.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya
mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun
mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum
(generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta
didik
f.
Menghindari
kekerasan dalam mengajar.[11]
E. SIFAT-SIFAT PENDIDIK
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila
memiliki sifat-sifatyang mendukung propesionalismenya. Adpun sifat-sifat
tersebut adalah:
a.
Pendidik
hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhu hukuman yang merusak fiik dan fisikis peserta
didik terutama kepada anak yang masih kecil.hal ini disebabkan,karena bias
menimbulkankebiasaan yang buruk mereka seperti: malas, berdusta dan tidak jujur
atupun berpura-pura menyatakan yang tidak terdapt dalam
pikiranyasipademikiandapt terjadi sebab karena merasa takut disakiti dengan
perlakuan ynga kasar, terutama jika berkata yang yang benarnya. Sikap demikian akan memberikan kesan kepdamerka
sifat maker dan muslihat.[12]
b.
Pendidik
hendaknya mejadikandirinya sebagai uswatuh
al-hasanah( suri telada) bagi peserta didik. Keteladanan ini dipandang,
sebai prinsip-prinsip terpuji kepada jiwa peserta didik.
c.
Pendidik
hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalammemberika pelajaran,sehingga
metode dan materi dapat disesuaikan secar propesional.
d.
Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan
aktivitas yang berguna.menurut Ibnu Khaldun,diatara cara yang paling baik untuk
meningisi waktu luang dengan membiasakan anaka membaca, terutama al-Quran,
sejarah,syair-syair, hadis nabi, hadis nabi, dan retorika.
e.
Pendidik
hendaknya propesional danmempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik,
terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan danperkembangan jiwanya.[13]
F. PESERTA DIDIK
Peserta didik merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu
dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki
fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk,
ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia
memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu
dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a. Peserta didik bukan merupakan
miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat
penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan
tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode,
mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan
sebagainya.
b. Peserta didik adalah manusia yang
memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas
kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang
pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta
didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau
pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c. Peserta didik adalah manusia yang
memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani
yang harus dipenuhi.
d. Peserta didik adalah makhluk Allah yang
memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan
oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e. Peserta didik merupakan resultan
dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya
fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses
pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya
rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui
ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui
pendidikan akhlak dan ibadah.
f.
Peserta
didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan
berkembang secara dinamis.
G. KURIKULUM DAN MATERI PENDIDIKAN
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum
perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum
pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki
pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih
terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau
sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab
tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba
membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum
pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur.
Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada
mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang
Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya,
karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan.
Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an
saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair,
karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain.
Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka
mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar
ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode
yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui
bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran
al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun
menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa
Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk
menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an
mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap
al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya
dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena
materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam
hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak
dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan
dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas
syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara
lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu
kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional
(Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya
melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat
di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia.[14]
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi
menjadi empat macam ilmu yaitu:
a. Ilmu logika,
b. Ilmu fisika,
c. Ilmu metafisika dan
d. Ilmu matematika termasuk didalamnya
ilmu, geografi, aritmatika dan al-jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu
nujuum.[15]
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu
geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut
ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun
membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam,
yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri
dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari
ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari
ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan
ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari
ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu
adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu
sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah
merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian
pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan
keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat).
Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau
dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan
seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia
sejajar dengan ilmu agama.[16]
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam
kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik,
bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang
tepat dan baik.
H. METODE PENDIDIKAN
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah
yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang
diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di
sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar
yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.[17]
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran
(pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan
terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru)
dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama, kebiasaan mendidik dengan metode
“indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan
masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa
mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu
Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama
disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai
materi per-bab.[18]
kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang
mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan
ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu
kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta
logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode
pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang
“militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena
berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis
dan perilaku nakal.
Keempat, Ibnu Khaldun mengajarkan agar
pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap
orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama.
Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak
boleh lebih dari tiga kali.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Prof.Dr.H.
Ramayuluis dan, Dr.Symsu Nisar. Filsafat
Pendidikan Islam:Telaah System Pendidikan Dan Pemikaran Para Tokoh Jakarta,Kalam
Mulia,2006
ü DR.H.Samsul
Nisar,M.A. Filsafat Pendidikan
Islam:Pendekatan Historis, Teoritis Dan Praktis,Jakarta,ciputat pres,2002
ü Dr.H.M.zainuddin,Dkk,
Pendidikan Isalam: Dari Pradikma Klasik
Hingga Kontemporer, Jakarta, UIN Malang Press, 2009
ü Nurcholis
Majid,Khasanah Intelektual Muslim,Jakarta,
Bulan Bintang,1984
ü Ahmad
Fuad al-Ahwanui, al-Tarbiatil Fil
al-Islam, Mesir, Dar al-Ma’rif.t.t.h
ü Mohammad
Athiyah al-Abrasyi, Dasar- Dasar Pokok
Pendidikan Islam, Jakata, Bulan Bintang,1984
[1] . Prof.Dr.H.
Ramayuluis dan, Dr.Symsu Nisar. Filsafat
Pendidikan Islam:Telaah System Pendidikan Dan Pemikaran Para Tokoh(Jakarta:Kalam
Mulia,2006), hal. 282
[2]. DR.H.Samsul
Nisar,M.A. Filsafat Pendidikan
Islam:Pendekatan Historis, Teoritis Dan Praktis(Jakarta:ciputat pres,2002),
hal.93
[3] .Ibid, op,cit.
[4]
.Dr.H.M.zainuddin, Dkk,Pendidikan Isalam:
Dari Pradikma Klasik Hingga Kontemporer,(Jakarta: UIN Malang Press,2009)
hal. 248
[5] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan,
Dr.Symsu Nisar hal.283
[6] .Ibid,op.cit
[7] . Ibid,hal.284
[8] , Ibid,op.cit
[9] . Ibid DR.H.Samsul Nisar,M.A.hal.94
[10] .
Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar- Dasar
Pokok Pendidikan Islam(Jakata: Bulan Bintang,1984),hal. 169
[11] . Ibid, DR.Symsul Nisar, hal. 95
[12]
.Ahmad Fuad al-Ahwanui, al-Tarbiatil Fil
al-Islam(Mesir:Dar al-Ma’rif.t.t.h),hal. 218
[13] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan,
DR.Symsu Nisar, hal.288-289
[14] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan,
DR.Symsu Nisar, hal. 284
[15] . Ibid, hal.285
[16]
.Nurcholis Majid,Khasanah Intelektual
Muslim(Jakarta:Bulan Bintang,1984),310
[17] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan,
DR.Symsul Nisar,hal. 287
[18] . Ibid,op,cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar