Kamis, 09 Februari 2012

KONSEP PENDIDIKAN MENUIRUT IBNU KHALDUN







FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DISUSUN
Oleh:
Nama:ABBAS
Nim: 310 927 107
Fak/Jur: Tarbiah/PAI VII
Sem: VII



PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUN

A.     PENGERTIAN, DAN DAN KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan.[1]
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.      Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c.       Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.[2]


B.     KEDUDUKAN MANUSIA DALAM ALAM SEMESTA
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.[3]
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui[4]

C.     TUJUAN PENDIDIKAN
Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam danbersifat universal. Diantara tujuan pendidikan tersebut:
a.       Tujuan peningkatan pemikiran
Ibn Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikanadalh memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat di lakukan melalui proses menuntut ilmu keterampilan, seseorang akan meningkatkankegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk belajar, manusia senantiasa mencobameneliti pengetahuan-pengetahuan oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan menginvestarisasikan keterampilan-keterampilan yang dikuasainya untuk memproleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagi hasil dari aktivitas akal manusia.[5]
Atas pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun adalah meningkatkan kecerdasan manusia dan kemampuan berpikir. Dengan kemampuan tersebut, manusa akan dapat menigkatkan pengetahuannya dengan cara memproleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar. [6]
b.      Tujuan peningkatan masyarakat
Dari segi penigkatan kemasyarakatan. Ibn Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi manusia. Ilmu pengajaran sangat diperlukan untuk menigkatkan taraf budaya suatu masyarakat, maka akan semakian bermutu dan dinamis pula keterampilan dimasyarakat tersebut. Untuk itu seyogianya senatiasa berusaha memproleh ilmu dan keterampilan sebnayak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalmmasyrakat ynga dinamis dan berbudaya. jadi, eksistensi pendidikan  menurutnya merupakan merupakan suata sarana yang dapat membantu individu dan masyrakat menuju kemajuan dan kecemerlanagan. Di samping bertujuan meningkatakan segi kemasyrakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyrakat kearah yang lebih baik.[7]
c.       Tujuuan pendidikan dari segi kerohanian adalah meningkatkan kerohanian manusia dengan
menjalankan praktek ibadat, zikir, kholwat(menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramaisedapt mungkin untuk tujuan ibadah sebagimana yang dilakuakan oleh para sufi.[8]
D.     PENDIDIK
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan
psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.[9] Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.[10]
Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli.
Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.       Prinsip pembiasaan
b.      Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.       Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.      Prinsip kontinuitas
e.       Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.        Menghindari kekerasan dalam mengajar.[11]
E.      SIFAT-SIFAT PENDIDIK
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya apabila memiliki sifat-sifatyang mendukung propesionalismenya. Adpun sifat-sifat tersebut adalah:
a.       Pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhu  hukuman yang merusak fiik dan fisikis peserta didik terutama kepada anak yang masih kecil.hal ini disebabkan,karena bias menimbulkankebiasaan yang buruk mereka seperti: malas, berdusta dan tidak jujur atupun berpura-pura menyatakan yang tidak terdapt dalam pikiranyasipademikiandapt terjadi sebab karena merasa takut disakiti dengan perlakuan ynga kasar, terutama jika berkata yang yang benarnya. Sikap  demikian akan memberikan kesan kepdamerka sifat maker dan muslihat.[12]
b.      Pendidik hendaknya mejadikandirinya sebagai uswatuh al-hasanah( suri telada) bagi peserta didik. Keteladanan ini dipandang, sebai prinsip-prinsip terpuji kepada jiwa peserta didik.
c.       Pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalammemberika pelajaran,sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secar propesional.
d.       Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktivitas yang berguna.menurut Ibnu Khaldun,diatara cara yang paling baik untuk meningisi waktu luang dengan membiasakan anaka membaca, terutama al-Quran, sejarah,syair-syair, hadis nabi, hadis nabi, dan retorika.
e.       Pendidik hendaknya propesional danmempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan danperkembangan jiwanya.[13]      

F.      PESERTA DIDIK
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a.       Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c.       Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d.       Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e.       Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f.        Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

G.     KURIKULUM DAN MATERI PENDIDIKAN
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain.
Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.  Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.      Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.      Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia.[14]


Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
a.       Ilmu logika,
b.      Ilmu fisika,
c.       Ilmu metafisika dan
d.      Ilmu matematika termasuk didalamnya ilmu, geografi, aritmatika dan al-jabar, ilmu music, ilmu astromi, dan ilmu nujuum.[15]
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1.      Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2.      Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4.      Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.[16]
Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.


H.     METODE PENDIDIKAN
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.[17]
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.[18]
kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Keempat, Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.

DAFTAR PUSTAKA

ü  Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, Dr.Symsu Nisar. Filsafat Pendidikan Islam:Telaah System Pendidikan Dan Pemikaran Para Tokoh Jakarta,Kalam Mulia,2006
ü  DR.H.Samsul Nisar,M.A. Filsafat Pendidikan Islam:Pendekatan Historis, Teoritis Dan Praktis,Jakarta,ciputat pres,2002
ü  Dr.H.M.zainuddin,Dkk, Pendidikan Isalam: Dari Pradikma Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta, UIN Malang Press, 2009
ü  Nurcholis Majid,Khasanah Intelektual Muslim,Jakarta, Bulan Bintang,1984
ü  Ahmad Fuad al-Ahwanui, al-Tarbiatil Fil al-Islam, Mesir, Dar al-Ma’rif.t.t.h
ü  Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar- Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakata, Bulan Bintang,1984








[1] . Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, Dr.Symsu Nisar. Filsafat Pendidikan Islam:Telaah System Pendidikan Dan Pemikaran Para Tokoh(Jakarta:Kalam Mulia,2006), hal. 282
[2]. DR.H.Samsul Nisar,M.A. Filsafat Pendidikan Islam:Pendekatan Historis, Teoritis Dan Praktis(Jakarta:ciputat pres,2002), hal.93
[3] .Ibid, op,cit.
[4] .Dr.H.M.zainuddin, Dkk,Pendidikan Isalam: Dari Pradikma Klasik Hingga Kontemporer,(Jakarta: UIN Malang Press,2009) hal. 248
[5] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, Dr.Symsu Nisar hal.283
[6] .Ibid,op.cit
[7] . Ibid,hal.284
[8] , Ibid,op.cit
[9] . Ibid DR.H.Samsul Nisar,M.A.hal.94
[10] . Mohammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar- Dasar Pokok Pendidikan Islam(Jakata: Bulan Bintang,1984),hal. 169
[11] . Ibid, DR.Symsul Nisar, hal. 95
[12] .Ahmad Fuad al-Ahwanui, al-Tarbiatil Fil al-Islam(Mesir:Dar al-Ma’rif.t.t.h),hal. 218
[13] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, DR.Symsu Nisar, hal.288-289
[14] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, DR.Symsu Nisar, hal. 284
[15] . Ibid, hal.285
[16] .Nurcholis Majid,Khasanah Intelektual Muslim(Jakarta:Bulan Bintang,1984),310
[17] . Ibid, Prof.Dr.H. Ramayuluis dan, DR.Symsul Nisar,hal. 287
[18] . Ibid,op,cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar